Tinjauan Hukum dan Peraturan Sistem Ketenagakerjaan di Indonesia (Perburuhan)

TUGAS
MAKALAH


HUKUM DAN PRANATA PEMBANGUNAN
Tinjauan Hukum dan Peraturan Sistem Ketenagakerjaan di Indonesia (Perburuhan)”




PENYUSUN:
REYHANSYAH ACHDIKA PUTRA
25315801
3TB04




FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
JURUSAN TEKNIK ARSITEKTUR
UNIVERSITAS GUNADARMA
2017
BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alamnya.  Mulai dari pertanian, kehutanan, kelautan, perairan, perkebunan, pertambangan, dan juga energi. Begitu banyak namun sayang, adanya kekayaan sumber daya alam yang melimpah masih kurang diimbangi dengan potensi sumber daya manusia yang ada. Akibatnya, sumber daya alam yang melimpah tersebut tidak dapat dikelolah dengan baik dan tepat. Itu artinya tingkat produksi otomatis lemah dan justru konsisten dengan tingginya tingkat konsumtif masyarakat Indonesia.
Potensi sumber daya manusia yang rendah membuat Indonesia masih kurang berkreatifitas. Keterbatasan ini juga disebabkan kurang berkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pada kenyataannya menjadi salah satu faktor pendorong suatu negara untuk maju. Keterbatasan sumber daya manusia di Indonesia membuat Indonesia tidak bisa berbuat banyak terhadap kenyataan yang ada sehingga pada dasarnya Indonesia masih tergolong sebagai negara berkembang.
Salah satu ciri dari negara berkembang adalah adanya pertumbuhan penduduk yang tinggi namun pendapatan perkapita rendah. Inilah yang menyebabkan sempitnya lapangan pekerjaan yang justru membuat tingkat pengangguran semakin bertambah. Ditambah lagi persebaran tenaga kerja yang tidak merata seperti pulau jawa terutama kota-kota besar sudah menjadi daya tarik bagi pencari kerja dari luar Pulau Jawa. Padahal daerah di luar Pulau Jawa memiliki potensi alam yang melimpah dan belum diolah secara optimal. 
Indonesia sebagai negara yang bercita-cita ingin mensejahterakan rakyatnya seperti yang terkandung dan menjadi amanat dalam Pancasila dan UUD 1945 walaupun dalam prakteknya belum bisa mewujudkan amanat ini terutama terkait dengan permasalahan yang dialami di dunia ketenagakerjaan khususnya kaum pekerja/buruh. Banyak sekali masalah seperti pemberhentian hubungan kerja, pengangguran, upah yang rendah, serta jaminan sosial yang seadanya yang masih harus dihadapi oleh Indonesia sampai saat ini.

1.2  Rumusan Masalah
Dalam tulisan saya kali ini akan dirumuskan berbagai masalah sebagai berikut:
1.      UU No. 12 tahun 1948 tentang Kriteria Status dan Perlindungan Buruh
2.      UU No. 12 tahun 1964 tentang tentang Pemutusan Kerja di Perusahaan Swasta
3.      Konteks buruh di Indonesia serta kasus-kasus yang masih sering terjadi
1.3 Tujuan Penulisan
               Dalam penulisan kali ini ada beberapa tujuan yang ingin dicapai sebagai berikut:
1.      Memahami inti dan isi dari UU No. 12 tahun 1948 tentang Kriteria Status dan Perlindungan Buruh
2.      Memahami inti dan isi dari UU No. 12 tahun 1964 tentang tentang Pemutusan Kerja di Perusahaan Swasta
3.      Mengetahui dan memahami konteks buruh di Indonesia serta kasus-kasus yang masih sering terjadi

1.4   Manfaat Penulisan
Dalam penulisan kali ini, ada beberapa manfaat yang dapat diambil sebagai berikut:
1.      Pemahaman tentang UU No. 12 tahun 1948 tentang Kriteria Status dan Perlindungan Buruh
2.      Pemahaman tentang UU No. 12 tahun 1964 tentang Pemutusan Kerja di Perusahaan Swasta
3.      Pengetahuan dan pemahaman tentang konteks buruh di Indonesia serta kasus-kasus yang masih sering terjadi
BAB II
PEMBAHASAN

2.1  UU No. 12 Tahun 1948 tentang Kriteria Status dan Perlindungan Buruh
Menurut wikipedia, Buruh, pekerja, worker, laborer, tenaga kerja atau karyawan pada dasarnya adalah manusia yang menggunakan tenaga dan kemampuannya untuk mendapatkan balasan berupa pendapatan baik berupa uang maupun bentuk lainya kepada Pemberi Kerja atau pengusaha atau majikan. Pada dasarnya, buruh, Pekerja, Tenaga Kerja maupun karyawan adalah sama. namun dalam kultur Indonesia, "Buruh" berkonotasi sebagai pekerja rendahan, hina, kasaran dan sebagainya. sedangkan pekerja, Tenaga kerja dan Karyawan adalah sebutan untuk buruh yang lebih tinggi, dan diberikan cenderung kepada buruh yang tidak memakai otot tetapi otak dalam melakukan kerja. akan tetapi pada intinya sebenarnya keempat kata ini sama mempunyai arti satu yaitu Pekerja. hal ini terutama merujuk pada Undang-undang Ketenagakerjaan, yang berlaku umum untuk seluruh pekerja maupun pengusaha di Indonesia.
Dalam pembahasan kali ini saya akan memberikan gambaran mengenai UU No. 12 Tahun 1948 tentang Kriteria Status dan Perlindungan Buruh. Undang-undang ini memuat dan menjelaskan tentang aturan-aturan terhadap pekerja buruh dalam hal persyaratan untuk menjadi seorang buruh, pengaturan jam kerja dan jam istirahat, pemberian upah, perlindungan terhadap buruh perempuan, tempat kerja dan perumahan buruh, tanggung jawab, pengusutan pelanggaran, dan aturan tambahan lainnya. Secara garis besar, Undang-undang ini memberikan jaminan serta perlindungan terhadap kehidupan buruh di Indonesia agar terhindar dari hal-hal yang tidak diharapkan.
Dalam UU No. 12 Tahun 1948 tentang Kriteria Status dan Perlindungan Buruh memuat beberapa pasal yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7
(1)   Orang wanita tidak boleh menjalankan pekerjaan pada malam hari, kecuali jikalau pekerjaan itu menurut sifat, tempat dan keadaan seharusnya dijalankan oleh orang wanita.
(2)    Dapat dikecualikan dari larangan termaksud dalam ayat (1) hal-hal dimana pekerjaan wanita pada malam hari itu tidak dapat dihindarkan berhubung dengan kepentingan atau kesejahteraan umum.
Pasal 10
(1)   Buruh tidak boleh menjalankan pekerjaan lebih dari 7 jam sehari dan 40 jam seminggu. Jikalau pekerjaan dijalankan pada malam hari atau berbahaya bagi kesehatan atau keselamatan buruh, waktu kerja tidak boleh lebih dari 6 jam sehari dan 35 jam seminggu.
(2)   Setelah buruh menjalankan pekerjaan selama 4 jam terus menerus harus diadakan waktu istirahat yang sedikit-sedikitnya setengah jam lamanya; waktu istirahat itu tidak termasuk jam bekerja termaksud dalam ayat 1.
Pasal 13
(2)   Buruh Wanita harus diberi istirahat selama satu setengah bulan sebelum saatnya ia menurut perhitungan akan melahirkan anak dan satu setengah bulan sesudah melahirkan anak atau gugur-kandung.
Pasal 16
(1)    Tempat kerja dan perumahan buruh yang disediakan oleh majikan harus memenuhi syarat-syarat kesehatan dan kebersihan.
Pasal 17
(1) Majikan berwajib menjaga supaya aturan-aturan dalam Undang-undang ini dan dalam Peraturanperaturan Pemerintah yang dikeluarkan berhubung dengan undang-undang ini, demikian juga perintahperintah yang diberikan oleh pegawai-pegawai pengawasan perburuhan termaksud dalam pasal 16 ayat (5) di-indahkan.
(2) Kewajiban termaksud dalam ayat (1) ada juga pada pegawai-pegawai majikan yang mengawasi pekerjaan dan yang diserahi dengan tegas oleh majikan untuk menjaga, bahwa aturan-aturan dan perintah-perintah termaksud dalam ayat (1) di indahkan.

2.1.1 Contoh Kasus Pelanggaran Hak dan Perlindungan Buruh di Indonesia
         Salah satu isu yang terus didengungkan adalah soal upah dan kesejahteraan. Bagaimanakah sanksi hukum apabila perusahaan menggaji di bawah upah minimum regional (UMR)? Mahkamah Agung (MA) melansir putusan soal kasus pengupahan tersebut dalam websitenya, Jumat (28/4/2017). Putusan atas nama terpidana Bagoes Srihandojono yang juga Direktur PT Panca Puji Bangun dan sudah berkekuatan hukum tetap. Kasus bermula saat PT Panca Puji Bangun itu mempekerjakan 35 orang karyawan di pabriknya di Jalan Tanjung Anom, Surabaya pada 2004. Nah, kurun 2004-2010, PT Panca Puji Bangun menggaji buruhnya di bawah UMR. Yaitu:
1. Upah terendah yaitu Rp 680 ribu sebanyak 10 orang.
2. Upah tertinggi sebesar Rp 1,2 juta. 
3. Selain itu, buruh mendapatkan tunjangan tidak tetap yang besarnya bervariasi, berupa yang hadir, uang makan dan uang premi.
         Salah satu karyawan yang bernama Yudi Santoso mendapatkan upah:
1. Gaji pokok Rp 300 ribu.
2. Tunjangan keluarga Rp 30 ribu.
3. Tunjangan rumah Rp 150 ribu.
4. Tunjangan transportasi Rp 6 ribu per kedatangan.
5. Uang premi Rp 50 ribu.
            Gaji di atas juga dirasakan tak jauh beda oleh M Setiyo Budi. Kala itu, UMR Kota Surabaya sebesar Rp 934.500.
Pada 2007, PT Panca Puji Bangun merumahkan Yudi dan Setiyo dengan alasan kinerja keduanya di bawah standar. Tidak terima dengan hal itu, Yudi dan Setiyo melaporkan PT Panca Puji Bangun ke Dinas Ketenagakerjaan setempat.
               Kasus pun bergulir hingga ke pengadilan. Pada 30 Maret 2010, jaksa menuntut Bagoes selama 18 bulan penjara. Gayung bersambut. Pengadilan Negeri (PN) Surabaya menghukum Bagoes selama 1 tahun penjara karena menggaji karyawannya di bawah UMR. Putusan itu dikuatkan Pengadilan Tinggi (PT) Surabaya pada 13 April 2010 dan kasasi pada 8 November 2011. 
            Tidak terima dengan putusan itu, Bagoes mengambil langkah hukum luar biasa yaitu mengajukan peninjauan kembali (PK). Bagoes berdalih dirinya hanyalah karyawan di perusahaan tersebut. MA menolak permohonan pemohon PK.
Alasan Bagoes yang mengaku hanya karyawan ditepis MA. Sebab, sebagai direktur, mempunyai kemampuan untuk menyatakan sistem penggajian di perusahaan telah melanggar perundangan yang berakibat pidana, yang tidak boleh dilanggar oleh perusahaan dan harus dipatuhi.
            Menurut Majelis, terpidana tidak dapat mengajukan bukti pernah mengajukan keberatannya kepada pemilik perusahaan, agar penggajian karyawan diperbaiki sesuai aturan perundangan, karenanya permohonan PK tidak dapat dibenarkan.
   Melihat permasalahan ketenagakerjaan diatas, tentu saja membutuhkan pemecahan yang baik dan sistematis, karena permasalahan tenaga kerja bukan lagi permasalahan individu yang bisa diselesaikan dengan pendekatan individual, tetapi merupakan persoalan sosial, yang akhirnya membutuhkan penyelesaian yang mendasar dan menyeluruh. 

2.2  UU No. 12 tahun 1964 tentang Pemutusan Kerja di Perusahaan Swasta
Dalam dunia kerja, kita lazim mendengar istilah Pemutusan Hubungan Kerja atau yang sering disingkat dengan kata PHK. PHK sering kali menimbulkan keresahan khususnya bagi para pekerja. Bagaimana tidak?  Keputusan PHK ini akan berdampak buruk bagi kelangsungan hidup dan masa depan para pekerja yang mengalaminya. 
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan perusahaan/majikan. Hal ini dapat terjadi karena pengunduran diri, pemberhentian oleh perusahaan atau habis kontrak.
Dalam UU No. 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Kerja di Perusahaan Swasta, memuat beberapa pasal yang diantaranya berbunyi sebagai berikut:
               Pasal 1
(2)   Pemutusan hubungan kerja dilarang:
a.      Selama buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena keadaan sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan terus menerus.
b.      Selama buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena mematuhi kewajiban terhadap Negara yang ditetapkan oleh Undang-undang atau Pemerintah atau karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya dan yang disetujui Pemerintah.
Pasal 2
Bila setelah diadakan segala usaha pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindarkan, pengusaha harus merundingkan maksudnya untuk memutuskan hubungan kerja dengan organisasi buruh yang bersangkutan atau dengan buruh sendiri dalam hal buruh itu tidak menjadi anggota dari salah satu organisasi buruh.
Pasal 3
(1)   Bila perundingan tersebut dalam pasal 2 nyata-nyata tidak menghasilkan persesuaian paham, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan buruh, setelah memperoleh izin Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah ( Panitia Daerah), termaksud pada pasal 5 Undang-undang No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara Tahun 1957 No. 42) bagi pemutusan hubungan kerja perorangan, dan dari Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (Panitia Pusat) termaksud pada pasal 12 Undang-undang tersebut di atas bagi pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.

2.2.1 Contoh Kasus PHK di Indonesia
            TEMPO.COSemarang 
Karyawan  Koran Sindo se Jawa Tengah mengadukan perusahaanya ke Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Semarang, Selasa, 11 Juli 2017. Sikap yang sama juga dilakukan oleh karyawan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Mereka melaporkan tindakan perusahaan yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak dan tak sesuai aturan ketenagakerjaan.
“Kami melaporkan kepada Disnaker tentang nasib sebagai korban di PHK sepihak tanpa pesangon sesuai undang-undang,” kata koordinator pekerja  Koran Sindo  di Semarang, Agus Joko Mulyono.
Menurut dia pengaduan ke Disnaker itu sebagai runtutan perjuangan mereka menolak PHK yang dilakukan perusahaan milik  Hary Tanoesoedibjo. Agus berujar PHK karyawan Koran Sindo Jawa Tengah pada 5 Juni 2017  dengan alasan Biro Jateng dan DIY ditutup.
Mereka dipanggil satu-satu oleh menejemen yang menyatakan tidak bisa memberi pesangon. “Perusahaan  hanya menjanjikan tali asih atau istilahnya santunan sebanyak empat kali gaji,” kata Agus.
Kebijakan itu, kata Agus, ditolak sebagian besar karyawan karena korban PHK harus  mendapatkan pesangon sesuai Pasal 156 atat 2 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Agus dan kawan-kawanya mengaku sempat bertemu dengan menejemen namun deadlock. Karena selain mem-PHK pekerjanya, Koran Sindo juga memutasi pekerjanya ke Jakarta sehari sebelum Idul Fitri. Perusahaan dinilai tidak punya itikad baik karena menghindar membayar pesangon dengan cara menawarkan atau memutasi sejumlah karyawan ke tempat lain tanpa tugas dan hak yang jelas.
“Mutasi itu hanya akal-akalan perusahaan, supaya kami tidak nyaman dan mengundurkan diri sehingga tidak dapat menuntut pesangon. Itu tindakan jahat perusahaan dan akan terus kami lawan,” katanya.
Kepala Bidang Industrial Dinas Tenga Kerja Kota Semarang Budi Astuti menyatakan segera memanggil menejemen Koran Sindo untuk menyelesaikan PHK sepihak itu. “Minggu depan mediasi mempertemukan dengan karyawan,” kata Budi Astuti.
Ia tak memunggiri selama ini kasus segketa hubungan industrial di Kota Semarang cukup tinggi, bahkan dalam satu tahun ini mencapai ribuan karena karena perusahaan tutup. “Termasuk di perusahaan media ini cukup banyak, kami tak menyangka sebelumnya,” kata Budi.
2.2.2 Hak-Hak Karyawan Setelah Pemutusan Hubungan Kerja
Dalam dunia bisnis, perusahaan sering kali melakukan PHK kepada karyawan. Hal ini diakibatkan karena performa kerja karyawan atau kondisi bisnis perusahaan. Menurut Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 156 ayat (1) terdapat tiga jenis pesangon yang harusnya diterima karyawan yang di PHK. Berikut ini petikan dari pasal 156 UU Ketenagakerjaan:
Pasal 156
(1)   Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.

Hak Karyawan:

1.  Uang Pesangon

Perusahaan yang melakukan pemutusan hubungan kerja harus membayarkan uang pesangon seperti yang terdapat di dalam UU Ketenagakerjaan pasal 156 ayat 2, dengan aturan sebagai berikut:
Masa Kerja (Tahun)
Uang Pesangon
< 1 tahun 
1 bulan gaji
≥1 – 2 tahun
2 bulan gaji
≥2 – 3 tahun
3 bulan gaji
≥3 – 4 tahun
4 bulan gaji
≥4 – 5 tahun
5 bulan gaji
≥5 – 6 tahun
6 bulan gaji
≥6 – 7 tahun
7 bulan gaji
≥7 – 8 tahun
8 bulan gaji
≥8 tahun
9 bulan gaji






2.  Uang Penghargaan Masa Kerja
Perusahaan yang melakukan pemutusan hubungan kerja harus membayarkan uang penghargaan masa kerja  seperti yang terdapat di dalam UU Ketenagakerjaan pasal 156 ayat 3, dengan aturan sebagai berikut:
Masa Kerja (Tahun)
Uang Penghargaan Masa Kerja
≥3 – 6 tahun
2 bulan gaji
≥6 – 9 tahun
3 bulan gaji
≥9 – 12 tahun
4 bulan gaji
≥12 – 15 tahun
5 bulan gaji
≥15 – 18 tahun
6 bulan gaji
≥18 – 21 tahun
7 bulan gaji
≥21 – 24 tahun
8 bulan gaji
≥24 tahun
10 bulan gaji

3.      Uang Pengganti Hak yang Seharusnya Diterima
Selain kedua hak tersebut, menurut UU Ketenagakerjaan pasal 156 ayat 3 terdapat juga uang pengganti hak yang seharusnya diterima, seperti: 
·        cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
·        biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat di mana pekerja/buruh diterima bekerja;
·        penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
·        hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. 


2.3  Konteks Buruh di Indonesia
Hari Buruh Internasional (May Day) jatuh pada setiap tanggal 1 Mei. Di Indonesia, sejak 2014 Hari Buruh (kembali) menjadi hari libur nasional sesuai Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2013 tentang Penetapan Tanggal 1 Mei sebagai Hari Libur. Indonesia pada tahun 1920 juga mulai memperingati hari Buruh tanggal 1 Mei ini. Dalam sejarah Indonesia tercatat sejak 1967, Menteri Tenaga Kerja pada masa awal rezim Orde Baru, Awaluddin Djamin, menghapuskan peringatan Hari Buruh dan mencabut perayaan hari libur nasional pada 1 Mei sesuai Keputusan Presiden Nomor 251 Tahun 1967 tentang Hari-hari Libur. Ini disebabkan karena gerakan buruh dihubungkan dengan gerakan dan paham komunis yang sejak kejadian G30S pada 1965 ditabukan di Indonesia.
 Di era Orde Baru, kebebasan menyuarakan pendapat jadi barang mahal. Kritik terhadap pemerintah bisa berujung penculikan. Meski menghadapi beragam risiko, aktivis tetap memperjuangkan demokrasi. Wiji Thukul, salah satu aktivis era 90-an yang dampak dari perjuangannya dirasakan masyarakat saat ini. Hak kaum buruh salah satu yang diperjuangkan Thukul. Thukul sering memimpin aksi. Pria bernama tulen Widji Widodo itu juga menyuarakan kegelisahannya lewat puisi. Thukul harus berpindah-pindah tempat karena diincar aparat. Sedangkan istri dan dua anaknya tetap tinggal di rumah kontrakan di Solo. Pada 1998, Thukul dinyatakan menghilang dengan dugaan diculik oleh militer. Andi Gani Nena Wea, aktivis buruh, mengatakan perjuangan Thukul menginspirasi banyak orang. Namanya tidak cukup dikenang, tetapi perjuangannya membela kaum buruh harus terus dilanjutkan.
Setelah era Orde Baru berakhir, walaupun bukan hari libur, setiap tanggal 1 Mei kembali marak dirayakan oleh buruh di Indonesia dengan demonstrasi di berbagai kota. Sejak peringatan May Day tahun 1999 hingga 2014 tidak pernah ada tindakan destruktif atau tindak pemberontakan lainnya yang dilakukan oleh gerakan massa buruh yang dapat membahayakan ketertiban umum. Adapun yang terjadi tindakan represif aparat keamanan terhadap kaum buruh, karena mereka masih menganggap peringatan May Day  adalah subversif dan didasari gerakan komunis.
Tahun 2014,  tuntutan para buruh berkisar pada tiga tuntutan utama yaitu penghapusan sistem kontrak alih daya (outsourcing), perbaikan tingkat upah, dan pemberian jaminan sosial kesehatan. Namun sayangnya, sampai sekarang, tahun 2017, kasus-kasus yang menimpa kaum buruh masih marak terjadi di Indonesia seperti, kasus PHK buruh di Karawang, kriminalisasi kaum buruh yang terjadi di tingkat kabupaten hingga provinsi, pemberian upah dibawah UMR terhadap karyawan suatu perusahaan di Surabaya, dan masih banyak contoh kasus lainnya. Problem perburuhan ini sebenarnya terjadi karena kebebasan kepemilikan dan kebebasan bekerja yang menjadi pilar sistem kapitalisme. Dengan kebebasan ini, seorang pengusaha yang senantiasa berorientasi keuntungan dianggap sah mengeksploitasi tenaga buruh. Dengan kebebasan ini pula, kaum buruh diberi ruang kebebasan mengekspresikan tuntutannya akan peningkatan kesejahteraan dengan memanfaatkan serikat pekerja, melakukan sejumlah intimidasi bahkan tindakan anarkis sekalipun.
Sedangkan dasar yang memicu konflik buruh dan pengusaha sendiri, disebabkan oleh kesalahan tolok ukur yang digunakan untuk menentukan gaji buruh, yaitu living cost (biaya hidup) terendah. Living cost inilah yang digunakan untuk menentukan kelayakan gaji buruh. Maka tidak heran namanya Upah Minimum. Dengan kata lain, para buruh tidak mendapatkan gaji mereka yang sesungguhnya, karena mereka hanya mendapatkan sesuatu yang minimum sekedar untuk mempertahankan hidup mereka. Konsekuensinya kemudian adalah terjadilah eksploitasi yang dilakukan oleh para pemilik perusahaan terhadap kaum buruh. Dampak dari eksploitasi inilah yang kemudian memicu lahirnya gagasan Sosialisme tentang perlunya pembatasan waktu kerja, upah buruh, jaminan sosial, dan sebagainya.
Seharusnya negara menata dua aspek dengan tatanan regulasi sedemikian sehingga tidak muncul problem perburuhan. Pertama, aspek mikro terkait kontrak kerja antara buruh dan pengusaha. Dengannya akan terjawab bukan hanya besaran upah, namun juga masalah kepastian kerja (PHK) dan besarnya pesangon. Kedua, aspek makro menyangkut hak setiap orang, termasuk buruh untuk memperoleh kesejahteraan. Penyelesaian aspek ini, akan menempatkan buruh dan pengusaha pada posisi tawar yang semestinya.




BAB III
PENUTUP

3.1   Kesimpulan
Secara umum pengertian buruh adalah orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapatkan upah. Dalam konteks kepentingan didalam suatu perusahaan terdspat dua kelompok yaitu kelompok pemilik modal (owner) dan kelompok buruh., yaitu orang-orang yang diperintah dan dipekerjakan dan berfungsi sebagai salah satu komponen dalam proses produksi.
Dari UU No. 12 Tahun 1948 yang memuat tentang Kriteria Status dan Perlindungan Buruh, dapat diperoleh ringkasan seperti; larangan mempekerjakan anak dibawah umur, pembatasan waktu kerja 7 jam sehari atau 40 jam perminggu, larangan mempekerjakan buruh dihari libur, waktu istirahat bagi buruh, hak cuti haid, melahirkan, dan keguguran bagi buruh wanita, serta sanksi pidana untuk pelanggaran ketentuan yang dimuat dalam UU.
Dari UU No. 12 Tahun 1964 yang memuat tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta, dapat diperoleh ringkasan sebagai berikut; larangan melakukan PHK dalam waktu dan keadaan tertentu, melakukan perundingan sebelum melakukan PHK, izin Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah ( Panitia Daerah), Ketentuan-ketentuan pelaksanaan yang belum diatur dalam Undang-undang ini ditetapkan oleh Menteri Perburuhan.
Adapun dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 156 menerangkan bahwa; Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
3.2   Saran
Seharusnya semua pihak yang terlibat dalam masalah ini memiliki komunikasi yang jelas antara satu dengan yang lainnya. Karena setiap pihak juga memiliki haknya masing-masing, tinggal bagai mana mereka mengkomunikasikannya secara baik dan benar. Untuk menghindari PHK secara sepihak.
Bagi para pengusaha, buruh harus dipandang sebagai aset produktif yang perlu untuk dijamin kesejahteraannya sehingga dapat menggerakan roda perusahaan sekaligus pasar potensial bagi produk industri. Sementara itu, buruh perlu untuk meningkatkan produktifitas dan skill dalam persaingan antar tenaga kerja serta antar perusahaan.
Berbagai perbedaan kepentingan dan pandangan antara buruh dan pengusaha harus dapat didialogkan melalui peran mediasi pemerintah sebagai regulator. Jika kondisi kemitraan yang kuat ini tercapai, niscaya kepentingan bersama baik buruh maupun pengusaha dapat tercapai dan dengan demikian kepentingan nasional terjamin.

Daftar Pustaka

https://id.wikipedia.org/wiki/Hari_Buruh
https://nasional.tempo.co/read/890676/kasus-phk-karyawan-koran-sindo-jawa-tengah-mengadu-ke-disnaker


Komentar

Postingan Populer