Tinjauan Hukum dan Peraturan Sistem Ketenagakerjaan di Indonesia (Perburuhan)
TUGAS
MAKALAH
HUKUM DAN PRANATA PEMBANGUNAN
“Tinjauan Hukum dan Peraturan Sistem
Ketenagakerjaan di Indonesia (Perburuhan)”
PENYUSUN:
REYHANSYAH ACHDIKA PUTRA
25315801
3TB04
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
JURUSAN TEKNIK ARSITEKTUR
UNIVERSITAS GUNADARMA
2017
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Indonesia merupakan negara yang kaya akan
sumber daya alamnya. Mulai dari pertanian,
kehutanan, kelautan, perairan, perkebunan, pertambangan, dan juga energi.
Begitu banyak namun sayang, adanya kekayaan sumber daya alam yang melimpah
masih kurang diimbangi dengan potensi sumber daya manusia yang ada. Akibatnya,
sumber daya alam yang melimpah tersebut tidak dapat dikelolah dengan baik dan
tepat. Itu artinya tingkat produksi otomatis lemah dan justru konsisten dengan
tingginya tingkat konsumtif masyarakat Indonesia.
Potensi sumber daya manusia yang rendah
membuat Indonesia masih kurang berkreatifitas. Keterbatasan ini juga disebabkan
kurang berkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pada kenyataannya
menjadi salah satu faktor pendorong suatu negara untuk maju. Keterbatasan
sumber daya manusia di Indonesia membuat Indonesia tidak bisa berbuat banyak terhadap
kenyataan yang ada sehingga pada dasarnya Indonesia masih tergolong sebagai
negara berkembang.
Salah satu ciri dari negara berkembang adalah adanya
pertumbuhan penduduk yang tinggi namun pendapatan perkapita rendah. Inilah yang
menyebabkan sempitnya lapangan pekerjaan yang justru membuat tingkat
pengangguran semakin bertambah. Ditambah lagi persebaran tenaga kerja yang
tidak merata seperti pulau jawa terutama
kota-kota besar sudah menjadi daya tarik bagi pencari kerja dari luar Pulau
Jawa. Padahal daerah di luar Pulau Jawa memiliki potensi alam yang melimpah dan
belum diolah secara optimal.
Indonesia sebagai negara yang
bercita-cita ingin mensejahterakan rakyatnya seperti yang terkandung dan
menjadi amanat dalam Pancasila dan UUD 1945 walaupun dalam prakteknya belum
bisa mewujudkan amanat ini terutama terkait dengan permasalahan yang dialami di
dunia ketenagakerjaan khususnya kaum pekerja/buruh. Banyak sekali masalah
seperti pemberhentian hubungan kerja, pengangguran, upah yang rendah, serta jaminan
sosial yang seadanya yang masih harus dihadapi oleh Indonesia sampai saat ini.
1.2 Rumusan
Masalah
Dalam tulisan saya kali ini akan dirumuskan
berbagai masalah sebagai berikut:
1.
UU No. 12 tahun 1948 tentang Kriteria Status
dan Perlindungan Buruh
2.
UU No. 12 tahun 1964 tentang tentang Pemutusan
Kerja di Perusahaan Swasta
3.
Konteks buruh di Indonesia serta kasus-kasus
yang masih sering terjadi
1.3
Tujuan Penulisan
Dalam
penulisan kali ini ada beberapa tujuan yang ingin dicapai sebagai berikut:
1.
Memahami inti dan isi dari UU No. 12 tahun
1948 tentang Kriteria Status dan Perlindungan Buruh
2.
Memahami inti dan isi dari UU No. 12 tahun 1964
tentang tentang Pemutusan Kerja di Perusahaan Swasta
3.
Mengetahui dan memahami konteks buruh di
Indonesia serta kasus-kasus yang masih sering terjadi
1.4
Manfaat Penulisan
Dalam penulisan kali ini, ada beberapa manfaat yang dapat diambil
sebagai berikut:
1.
Pemahaman tentang UU No. 12 tahun 1948 tentang
Kriteria Status dan Perlindungan Buruh
2.
Pemahaman tentang UU No. 12 tahun 1964 tentang
Pemutusan Kerja di Perusahaan Swasta
3.
Pengetahuan dan pemahaman tentang konteks
buruh di Indonesia serta kasus-kasus yang masih sering terjadi
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 UU
No. 12 Tahun 1948 tentang Kriteria Status dan Perlindungan Buruh
Menurut wikipedia, Buruh, pekerja, worker, laborer,
tenaga kerja atau karyawan pada dasarnya adalah manusia yang menggunakan tenaga
dan kemampuannya untuk mendapatkan balasan berupa pendapatan baik berupa uang
maupun bentuk lainya kepada Pemberi Kerja atau pengusaha atau majikan. Pada dasarnya, buruh, Pekerja, Tenaga Kerja maupun karyawan
adalah sama. namun dalam kultur Indonesia, "Buruh" berkonotasi
sebagai pekerja rendahan, hina, kasaran dan sebagainya. sedangkan pekerja,
Tenaga kerja dan Karyawan adalah sebutan untuk buruh yang lebih tinggi, dan
diberikan cenderung kepada buruh yang tidak memakai otot tetapi otak dalam
melakukan kerja. akan tetapi pada intinya sebenarnya keempat kata ini sama
mempunyai arti satu yaitu Pekerja. hal ini terutama merujuk pada Undang-undang
Ketenagakerjaan, yang berlaku umum untuk seluruh pekerja maupun pengusaha di Indonesia.
Dalam pembahasan kali ini
saya akan memberikan gambaran mengenai UU No. 12 Tahun 1948 tentang Kriteria
Status dan Perlindungan Buruh. Undang-undang ini memuat dan menjelaskan tentang
aturan-aturan terhadap pekerja buruh dalam hal persyaratan untuk menjadi
seorang buruh, pengaturan jam kerja dan jam istirahat, pemberian upah,
perlindungan terhadap buruh perempuan, tempat kerja dan perumahan buruh,
tanggung jawab, pengusutan pelanggaran, dan aturan tambahan lainnya. Secara
garis besar, Undang-undang ini memberikan jaminan serta perlindungan terhadap
kehidupan buruh di Indonesia agar terhindar dari hal-hal yang tidak diharapkan.
Dalam UU No. 12 Tahun 1948
tentang Kriteria Status dan Perlindungan Buruh memuat beberapa pasal yang
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7
(1)
Orang wanita tidak boleh menjalankan pekerjaan
pada malam hari, kecuali jikalau pekerjaan itu menurut sifat, tempat dan
keadaan seharusnya dijalankan oleh orang wanita.
(2)
Dapat
dikecualikan dari larangan termaksud dalam ayat (1) hal-hal dimana pekerjaan
wanita pada malam hari itu tidak dapat dihindarkan berhubung dengan kepentingan
atau kesejahteraan umum.
Pasal 10
(1)
Buruh tidak boleh menjalankan
pekerjaan lebih dari 7 jam sehari dan 40 jam seminggu. Jikalau pekerjaan
dijalankan pada malam hari atau berbahaya bagi kesehatan atau keselamatan
buruh, waktu kerja tidak boleh lebih dari 6 jam sehari dan 35 jam seminggu.
(2)
Setelah buruh menjalankan
pekerjaan selama 4 jam terus menerus harus diadakan waktu istirahat yang
sedikit-sedikitnya setengah jam lamanya; waktu istirahat itu tidak termasuk jam
bekerja termaksud dalam ayat 1.
Pasal 13
(2)
Buruh Wanita harus diberi istirahat selama
satu setengah bulan sebelum saatnya ia menurut perhitungan akan melahirkan anak
dan satu setengah bulan sesudah melahirkan anak atau gugur-kandung.
Pasal 16
(1)
Tempat
kerja dan perumahan buruh yang disediakan oleh majikan harus memenuhi
syarat-syarat kesehatan dan kebersihan.
Pasal 17
(1) Majikan berwajib menjaga supaya
aturan-aturan dalam Undang-undang ini dan dalam Peraturanperaturan Pemerintah
yang dikeluarkan berhubung dengan undang-undang ini, demikian juga
perintahperintah yang diberikan oleh pegawai-pegawai pengawasan perburuhan
termaksud dalam pasal 16 ayat (5) di-indahkan.
(2) Kewajiban termaksud dalam ayat (1)
ada juga pada pegawai-pegawai majikan yang mengawasi pekerjaan dan yang
diserahi dengan tegas oleh majikan untuk menjaga, bahwa aturan-aturan dan perintah-perintah
termaksud dalam ayat (1) di indahkan.
2.1.1 Contoh Kasus Pelanggaran Hak dan
Perlindungan Buruh di Indonesia
Salah satu isu yang terus didengungkan adalah soal upah dan
kesejahteraan. Bagaimanakah sanksi hukum apabila perusahaan menggaji di bawah
upah minimum regional (UMR)? Mahkamah Agung (MA) melansir putusan soal
kasus pengupahan tersebut dalam websitenya, Jumat (28/4/2017). Putusan atas
nama terpidana Bagoes Srihandojono yang juga Direktur PT Panca Puji Bangun dan
sudah berkekuatan hukum tetap. Kasus bermula saat PT Panca Puji Bangun itu
mempekerjakan 35 orang karyawan di pabriknya di Jalan Tanjung Anom, Surabaya
pada 2004. Nah, kurun 2004-2010, PT Panca Puji Bangun menggaji buruhnya di
bawah UMR. Yaitu:
1. Upah terendah yaitu Rp 680 ribu sebanyak 10 orang.
2. Upah tertinggi sebesar Rp 1,2 juta.
3. Selain itu, buruh mendapatkan tunjangan tidak tetap yang besarnya bervariasi, berupa yang hadir, uang makan dan uang premi.
2. Upah tertinggi sebesar Rp 1,2 juta.
3. Selain itu, buruh mendapatkan tunjangan tidak tetap yang besarnya bervariasi, berupa yang hadir, uang makan dan uang premi.
Salah
satu karyawan yang bernama Yudi Santoso mendapatkan upah:
1. Gaji pokok Rp 300 ribu.
2. Tunjangan keluarga Rp 30 ribu.
3. Tunjangan rumah Rp 150 ribu.
4. Tunjangan transportasi Rp 6 ribu per kedatangan.
5. Uang premi Rp 50 ribu.
1. Gaji pokok Rp 300 ribu.
2. Tunjangan keluarga Rp 30 ribu.
3. Tunjangan rumah Rp 150 ribu.
4. Tunjangan transportasi Rp 6 ribu per kedatangan.
5. Uang premi Rp 50 ribu.
Gaji di atas juga dirasakan tak jauh beda oleh M
Setiyo Budi. Kala itu, UMR Kota Surabaya sebesar Rp 934.500.
Pada 2007, PT Panca Puji Bangun merumahkan Yudi dan
Setiyo dengan alasan kinerja keduanya di bawah standar. Tidak terima dengan hal
itu, Yudi dan Setiyo melaporkan PT Panca Puji Bangun ke Dinas Ketenagakerjaan
setempat.
Kasus
pun bergulir hingga ke pengadilan. Pada 30 Maret 2010, jaksa menuntut Bagoes
selama 18 bulan penjara. Gayung bersambut. Pengadilan Negeri (PN) Surabaya
menghukum Bagoes selama 1 tahun penjara karena menggaji karyawannya di bawah
UMR. Putusan itu dikuatkan Pengadilan Tinggi (PT) Surabaya pada 13 April 2010
dan kasasi pada 8 November 2011.
Tidak terima dengan putusan itu, Bagoes mengambil
langkah hukum luar biasa yaitu mengajukan peninjauan kembali (PK). Bagoes
berdalih dirinya hanyalah karyawan di perusahaan tersebut. MA menolak
permohonan pemohon PK.
Alasan Bagoes yang mengaku hanya karyawan ditepis MA. Sebab, sebagai direktur, mempunyai kemampuan untuk menyatakan sistem penggajian di perusahaan telah melanggar perundangan yang berakibat pidana, yang tidak boleh dilanggar oleh perusahaan dan harus dipatuhi.
Alasan Bagoes yang mengaku hanya karyawan ditepis MA. Sebab, sebagai direktur, mempunyai kemampuan untuk menyatakan sistem penggajian di perusahaan telah melanggar perundangan yang berakibat pidana, yang tidak boleh dilanggar oleh perusahaan dan harus dipatuhi.
Menurut Majelis, terpidana tidak dapat mengajukan bukti
pernah mengajukan keberatannya kepada pemilik perusahaan, agar penggajian
karyawan diperbaiki sesuai aturan perundangan, karenanya permohonan PK tidak
dapat dibenarkan.
Melihat permasalahan ketenagakerjaan diatas,
tentu saja membutuhkan pemecahan yang baik dan sistematis, karena permasalahan
tenaga kerja bukan lagi permasalahan individu yang bisa diselesaikan dengan
pendekatan individual, tetapi merupakan persoalan sosial, yang akhirnya
membutuhkan penyelesaian yang mendasar dan menyeluruh.
2.2 UU
No. 12 tahun 1964 tentang Pemutusan Kerja di Perusahaan Swasta
Dalam dunia kerja, kita lazim
mendengar istilah Pemutusan Hubungan Kerja atau yang sering disingkat dengan
kata PHK. PHK sering kali menimbulkan keresahan khususnya bagi para pekerja.
Bagaimana tidak? Keputusan PHK ini akan berdampak buruk bagi kelangsungan
hidup dan masa depan para pekerja yang mengalaminya.
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan
berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan perusahaan/majikan. Hal ini
dapat terjadi karena pengunduran diri, pemberhentian oleh perusahaan atau habis
kontrak.
Dalam UU No. 12 Tahun 1964
tentang Pemutusan Kerja di Perusahaan Swasta, memuat beberapa pasal yang
diantaranya berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
(2)
Pemutusan hubungan kerja
dilarang:
a.
Selama buruh berhalangan menjalankan
pekerjaannya karena keadaan sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak
melampaui 12 (dua belas) bulan terus menerus.
b.
Selama buruh berhalangan menjalankan
pekerjaannya karena mematuhi kewajiban terhadap Negara yang ditetapkan oleh
Undang-undang atau Pemerintah atau karena menjalankan ibadah yang diperintahkan
agamanya dan yang disetujui Pemerintah.
Pasal 2
Bila setelah diadakan segala usaha pemutusan hubungan kerja tidak
dapat dihindarkan, pengusaha harus merundingkan maksudnya untuk memutuskan
hubungan kerja dengan organisasi buruh yang bersangkutan atau dengan buruh
sendiri dalam hal buruh itu tidak menjadi anggota dari salah satu organisasi
buruh.
Pasal 3
(1)
Bila perundingan tersebut dalam pasal 2
nyata-nyata tidak menghasilkan persesuaian paham, pengusaha hanya dapat
memutuskan hubungan kerja dengan buruh, setelah memperoleh izin Panitia
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah ( Panitia Daerah), termaksud pada
pasal 5 Undang-undang No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan (Lembaran Negara Tahun 1957 No. 42) bagi pemutusan hubungan kerja
perorangan, dan dari Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat
(Panitia Pusat) termaksud pada pasal 12 Undang-undang tersebut di atas bagi
pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.
2.2.1
Contoh Kasus PHK di Indonesia
TEMPO.CO, Semarang
Karyawan Koran Sindo se Jawa
Tengah mengadukan perusahaanya ke Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Semarang,
Selasa, 11 Juli 2017. Sikap yang sama juga dilakukan oleh karyawan di Daerah
Istimewa Yogyakarta. Mereka melaporkan tindakan perusahaan yang melakukan
pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak dan tak sesuai aturan ketenagakerjaan.
“Kami melaporkan kepada Disnaker tentang nasib
sebagai korban di PHK sepihak tanpa pesangon sesuai undang-undang,” kata
koordinator pekerja Koran Sindo di Semarang, Agus Joko Mulyono.
Menurut dia pengaduan ke Disnaker itu sebagai
runtutan perjuangan mereka menolak PHK yang dilakukan perusahaan milik
Hary Tanoesoedibjo. Agus berujar PHK karyawan Koran Sindo Jawa
Tengah pada 5 Juni 2017 dengan alasan Biro Jateng dan DIY ditutup.
Mereka dipanggil satu-satu oleh menejemen yang
menyatakan tidak bisa memberi pesangon. “Perusahaan hanya menjanjikan
tali asih atau istilahnya santunan sebanyak empat kali gaji,” kata Agus.
Kebijakan itu, kata Agus, ditolak sebagian besar karyawan
karena korban PHK harus mendapatkan pesangon sesuai Pasal 156 atat 2
Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Agus dan kawan-kawanya mengaku sempat bertemu dengan
menejemen namun deadlock. Karena selain mem-PHK pekerjanya, Koran Sindo juga
memutasi pekerjanya ke Jakarta sehari sebelum Idul Fitri. Perusahaan dinilai
tidak punya itikad baik karena menghindar membayar pesangon dengan cara
menawarkan atau memutasi sejumlah karyawan ke tempat lain tanpa tugas dan hak
yang jelas.
“Mutasi itu hanya akal-akalan perusahaan, supaya kami
tidak nyaman dan mengundurkan diri sehingga tidak dapat menuntut pesangon. Itu
tindakan jahat perusahaan dan akan terus kami lawan,” katanya.
Kepala Bidang Industrial Dinas Tenga Kerja Kota Semarang
Budi Astuti menyatakan segera memanggil menejemen Koran Sindo untuk
menyelesaikan PHK sepihak itu. “Minggu depan mediasi mempertemukan dengan
karyawan,” kata Budi Astuti.
Ia tak memunggiri selama ini kasus segketa hubungan
industrial di Kota Semarang cukup tinggi, bahkan dalam satu tahun ini mencapai
ribuan karena karena perusahaan tutup. “Termasuk di perusahaan media ini cukup
banyak, kami tak menyangka sebelumnya,” kata Budi.
2.2.2 Hak-Hak Karyawan Setelah Pemutusan
Hubungan Kerja
Dalam dunia bisnis, perusahaan sering kali melakukan PHK kepada
karyawan. Hal ini diakibatkan karena performa kerja karyawan atau kondisi
bisnis perusahaan. Menurut Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 156
ayat (1) terdapat tiga jenis pesangon yang harusnya diterima karyawan yang di
PHK. Berikut ini petikan dari pasal 156 UU Ketenagakerjaan:
Pasal 156
(1) Dalam hal
terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon
dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya
diterima.
Hak Karyawan:
1. Uang Pesangon
Perusahaan yang
melakukan pemutusan hubungan kerja harus membayarkan uang pesangon seperti yang
terdapat di dalam UU Ketenagakerjaan pasal 156 ayat 2, dengan aturan sebagai
berikut:
Masa Kerja (Tahun)
|
Uang Pesangon
|
< 1
tahun
|
1 bulan gaji
|
≥1 – 2 tahun
|
2 bulan
gaji
|
≥2 –
3 tahun
|
3 bulan
gaji
|
≥3 – 4
tahun
|
4 bulan
gaji
|
≥4 –
5 tahun
|
5 bulan
gaji
|
≥5 –
6 tahun
|
6 bulan
gaji
|
≥6 –
7 tahun
|
7 bulan
gaji
|
≥7 –
8 tahun
|
8 bulan
gaji
|
≥8 tahun
|
9 bulan gaji
|
2. Uang Penghargaan Masa Kerja
Perusahaan yang melakukan pemutusan hubungan
kerja harus membayarkan uang penghargaan masa kerja seperti yang
terdapat di dalam UU Ketenagakerjaan pasal 156 ayat 3, dengan aturan sebagai
berikut:
Masa Kerja (Tahun)
|
Uang Penghargaan
Masa Kerja
|
≥3 – 6 tahun
|
2 bulan gaji
|
≥6 – 9 tahun
|
3 bulan gaji
|
≥9 – 12 tahun
|
4 bulan gaji
|
≥12 – 15 tahun
|
5 bulan gaji
|
≥15 – 18 tahun
|
6 bulan gaji
|
≥18 – 21 tahun
|
7 bulan gaji
|
≥21 – 24 tahun
|
8 bulan gaji
|
≥24 tahun
|
10 bulan gaji
|
3.
Uang Pengganti Hak yang Seharusnya Diterima
Selain kedua hak tersebut, menurut UU Ketenagakerjaan pasal 156 ayat 3
terdapat juga uang pengganti hak yang seharusnya diterima, seperti:
·
cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
·
biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan
keluarganya ke tempat di mana pekerja/buruh diterima bekerja;
·
penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan
ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang
penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
·
hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
2.3 Konteks Buruh
di Indonesia
Hari Buruh Internasional (May Day) jatuh pada setiap tanggal 1 Mei. Di
Indonesia, sejak 2014 Hari Buruh (kembali) menjadi hari libur nasional sesuai
Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2013 tentang Penetapan Tanggal 1 Mei sebagai
Hari Libur. Indonesia pada tahun 1920 juga mulai memperingati hari Buruh
tanggal 1 Mei ini. Dalam sejarah Indonesia tercatat sejak 1967, Menteri Tenaga
Kerja pada masa awal rezim Orde Baru, Awaluddin Djamin, menghapuskan peringatan
Hari Buruh dan mencabut perayaan hari libur nasional pada 1 Mei sesuai
Keputusan Presiden Nomor 251 Tahun 1967 tentang Hari-hari Libur. Ini disebabkan
karena gerakan buruh dihubungkan dengan gerakan dan paham komunis yang sejak
kejadian G30S pada 1965 ditabukan di Indonesia.
Di era Orde Baru, kebebasan menyuarakan
pendapat jadi barang mahal. Kritik terhadap pemerintah bisa berujung
penculikan. Meski menghadapi beragam risiko, aktivis tetap memperjuangkan
demokrasi. Wiji Thukul, salah satu aktivis era 90-an yang dampak dari
perjuangannya dirasakan masyarakat saat ini. Hak kaum buruh salah satu yang
diperjuangkan Thukul. Thukul sering memimpin aksi. Pria bernama tulen Widji
Widodo itu juga menyuarakan kegelisahannya lewat puisi. Thukul harus
berpindah-pindah tempat karena diincar aparat. Sedangkan istri dan dua anaknya
tetap tinggal di rumah kontrakan di Solo. Pada 1998, Thukul dinyatakan
menghilang dengan dugaan diculik oleh militer. Andi Gani Nena Wea, aktivis
buruh, mengatakan perjuangan Thukul menginspirasi banyak orang. Namanya tidak
cukup dikenang, tetapi perjuangannya membela kaum buruh harus terus
dilanjutkan.
Setelah era Orde Baru berakhir, walaupun bukan hari libur, setiap
tanggal 1 Mei kembali marak dirayakan oleh buruh di Indonesia dengan
demonstrasi di berbagai kota. Sejak peringatan May Day tahun
1999 hingga 2014 tidak pernah ada tindakan destruktif atau tindak pemberontakan
lainnya yang dilakukan oleh gerakan massa buruh yang dapat membahayakan
ketertiban umum. Adapun yang terjadi tindakan represif aparat keamanan terhadap
kaum buruh, karena mereka masih menganggap peringatan May Day
adalah subversif dan didasari gerakan komunis.
Tahun 2014, tuntutan para buruh berkisar pada tiga tuntutan
utama yaitu penghapusan sistem kontrak alih daya (outsourcing),
perbaikan tingkat upah, dan pemberian jaminan sosial kesehatan. Namun
sayangnya, sampai sekarang, tahun 2017,
kasus-kasus yang menimpa kaum buruh masih marak terjadi di Indonesia seperti,
kasus PHK buruh di Karawang, kriminalisasi kaum buruh yang terjadi di tingkat
kabupaten hingga provinsi, pemberian upah dibawah UMR terhadap karyawan suatu
perusahaan di Surabaya, dan masih banyak contoh kasus lainnya. Problem
perburuhan ini sebenarnya terjadi karena kebebasan kepemilikan dan kebebasan
bekerja yang menjadi pilar sistem kapitalisme. Dengan kebebasan ini, seorang
pengusaha yang senantiasa berorientasi keuntungan dianggap sah mengeksploitasi
tenaga buruh. Dengan kebebasan ini pula, kaum buruh diberi ruang kebebasan
mengekspresikan tuntutannya akan peningkatan kesejahteraan dengan memanfaatkan
serikat pekerja, melakukan sejumlah intimidasi bahkan tindakan anarkis
sekalipun.
Sedangkan dasar yang memicu konflik buruh dan pengusaha sendiri,
disebabkan oleh kesalahan tolok ukur yang digunakan untuk menentukan gaji
buruh, yaitu living
cost (biaya hidup) terendah. Living cost inilah yang digunakan
untuk menentukan kelayakan gaji buruh. Maka tidak heran namanya Upah Minimum.
Dengan kata lain, para buruh tidak mendapatkan gaji mereka yang sesungguhnya,
karena mereka hanya mendapatkan sesuatu yang minimum sekedar untuk
mempertahankan hidup mereka. Konsekuensinya kemudian adalah terjadilah
eksploitasi yang dilakukan oleh para pemilik perusahaan terhadap kaum buruh.
Dampak dari eksploitasi inilah yang kemudian memicu lahirnya gagasan Sosialisme
tentang perlunya pembatasan waktu kerja, upah buruh, jaminan sosial, dan
sebagainya.
Seharusnya negara menata dua aspek dengan tatanan regulasi
sedemikian sehingga tidak muncul problem perburuhan. Pertama,
aspek mikro terkait kontrak kerja antara buruh dan pengusaha. Dengannya akan
terjawab bukan hanya besaran upah, namun juga masalah kepastian kerja (PHK) dan
besarnya pesangon. Kedua, aspek makro menyangkut hak setiap orang,
termasuk buruh untuk memperoleh kesejahteraan. Penyelesaian aspek ini, akan
menempatkan buruh dan pengusaha pada posisi tawar yang semestinya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Secara umum pengertian buruh adalah
orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapatkan upah. Dalam konteks
kepentingan didalam suatu perusahaan terdspat dua kelompok yaitu kelompok
pemilik modal (owner) dan kelompok buruh., yaitu orang-orang yang diperintah
dan dipekerjakan dan berfungsi sebagai salah satu komponen dalam proses
produksi.
Dari UU No. 12 Tahun 1948
yang memuat tentang Kriteria Status dan Perlindungan Buruh, dapat diperoleh
ringkasan seperti; larangan mempekerjakan anak dibawah umur, pembatasan waktu
kerja 7 jam sehari atau 40 jam perminggu, larangan mempekerjakan buruh dihari
libur, waktu istirahat bagi buruh, hak cuti haid, melahirkan, dan keguguran
bagi buruh wanita, serta sanksi pidana untuk pelanggaran ketentuan yang dimuat
dalam UU.
Dari UU No. 12 Tahun 1964 yang
memuat tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta, dapat diperoleh
ringkasan sebagai berikut; larangan melakukan PHK dalam waktu dan keadaan
tertentu, melakukan perundingan sebelum melakukan PHK, izin
Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah ( Panitia Daerah),
Ketentuan-ketentuan pelaksanaan yang belum diatur dalam Undang-undang ini
ditetapkan oleh Menteri Perburuhan.
Adapun dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal
156 menerangkan bahwa; Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha
diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang
penggantian hak yang seharusnya diterima.
3.2 Saran
Seharusnya semua pihak
yang terlibat dalam masalah ini memiliki komunikasi yang jelas antara satu dengan
yang lainnya. Karena setiap pihak juga memiliki haknya masing-masing, tinggal
bagai mana mereka mengkomunikasikannya secara baik dan benar. Untuk menghindari PHK secara sepihak.
Bagi para pengusaha, buruh harus dipandang
sebagai aset produktif yang perlu untuk dijamin kesejahteraannya sehingga dapat
menggerakan roda perusahaan sekaligus pasar potensial bagi produk industri.
Sementara itu, buruh perlu untuk meningkatkan produktifitas dan skill dalam
persaingan antar tenaga kerja serta antar perusahaan.
Berbagai perbedaan kepentingan dan pandangan
antara buruh dan pengusaha harus dapat didialogkan melalui peran mediasi
pemerintah sebagai regulator. Jika kondisi kemitraan yang kuat ini tercapai,
niscaya kepentingan bersama baik buruh maupun pengusaha dapat tercapai dan
dengan demikian kepentingan nasional terjamin.
Daftar Pustaka
https://id.wikipedia.org/wiki/Hari_Buruh
https://nasional.tempo.co/read/890676/kasus-phk-karyawan-koran-sindo-jawa-tengah-mengadu-ke-disnaker
https://nasional.tempo.co/read/890676/kasus-phk-karyawan-koran-sindo-jawa-tengah-mengadu-ke-disnaker
Komentar
Posting Komentar